Minggu, 22 Februari 2009

pepeD

Perkembangan manusia juga bersifat kompleks sebab berhubungan dengan proses biologi, kognitif dan sosio-emosi manusia. Setiap manusia melalui proses kelahiran, tumbuh besar dan kematian. Namun dalam proses tersebut, setiap individu akan melalui pengalaman yang berbeda sehingga terbentuk karakter manusia yang unik.

Proses Biologi, Kognitif dan Psiko-Emosi
Proses biologi merupakan proses perubahan fisik manusia. Gen dari keluarga, pertumbuhan otak, pertambahan tinggi dan berat badan, perubahan kemahiran motorik, perubahan hormon dan penurunan kardiovaskular mencerminkan peranan proses biologi dalam pertumbuhan manusia.

Proses kognitif merupakan perubahan pemikiran, kepintaran dan bahasa manusia. Proses sosio-emosi berkaitan dengan perubahan dalam hubungan manusia dengan orang lain, perubahan emosi serta personalitinya.

Semua proses ini saling berhubungan, berintegrasi dan mempengaruhi antara satu sama lain. Sehubungan itu, pertumbuhan dan perkembangan manusia adalah integrasi antara proses biologi, kognitif dan sosio-emosi manusia.

Fase Perkembangan

Fase perkembangan merujuk pada jangka waktu kehidupan seseorang yang ditandai dengan beberapa kriteria. Fase perkembangan manusia dibagi dalam beberapa tahapan yaitu:

1. Prenatal: Prenatal adalah fase dari dalam kandungan hingga kelahiran. Melibatkan pertumbuhan pesat dari satu unit sel menjadi satu organisme kompleks.

2. Bayi: 18 bulan hingga 24 bulan. Fase kebergantungan yang tinggi kepada orang dewasa dan Fase awal aktivitas psikologi.

3. Kanak-kanak awal: 25 bulan hingga 6 tahun. Juga dikenal sebagai fase pra-sekolah. Belajar menjadi self-sufficient, bersedia untuk belajar dan suka bermain dengan teman sebaya.

4. Kanak-kanak pertengahan dan akhir: 6 hingga 11 tahun. Awal sekolah. Dikenal sebagai Fase the elementary school year. Awal belajar membaca, berhitung dan menulis.

5. Remaja: Fase transisi dari kanak-kanak menjadi remaja. Usia 10-12 tahun sampai dengan 18-22 tahun. Mengalami pertumbuhan biologi yang pesat. Awal mula kemandirian,membentuk identitas diri, berfikir logika, abstrak dan idealistik.

6. Dewasa awal: Awal 20-an hingga 30-an. Fase pengukuhan pribadi, ekonomi dan awal hidup berkeluarga.

7. Dewasa pertengahan: 40 an-60-an. Menjadi matang dan memperoleh kepuasan kerja.

8. Dewasa akhir: 60-an atau 70-an hingga meninggal dunia. Dibagi menjadi dua fase yaitu awal (65-74 tahun) dan tua akhir (75 tahun dan ke atas).

Isu Perkembangan

Nature and nurture: Perkembangan dipengaruhi oleh faktor dasar (sifat biologi manusia) atau pola asuh.

Continuity and discontinuity: Perkembangan melibatkan perubahan kumulatif (continuity) atau distinct states (discontinuity)

Kestabilan dan perubahan: Perkembangan manusia melibatkan kestabilan atau perubahan.

Friday, June 06, 2008

PERSPEKTIF HISTORIS TENTANG PERILAKU ABNORMAL

Sepanjang sejarah budaya barat, konsep perilaku abnormal telah dibentuk, dalam beberapa hal, oleh pandangan dunia waktu itu. Contohnya, masyarakat purba menghubungkan perilaku abnormal dengan kekuatan supranatural atau yang bersifat ketuhanan. Para arkeolog telah menemukan kerangka manusia dari Zaman Batu dengan lubang sebesar telur pada tengkoraknya. Satu interpretasi yang muncul adalah bahwa nenek moyang kita percaya bahwa perilaku abnormal merefleksikan serbuan/invasi dari roh-roh jahat. Mungkin mereka menggunakan cara kasar yang disebut trephination--menciptakan sebuah jalur bagi jalan keluarnya roh tertentu.

Pada abad pertengahan kepercayaan tersebut makin meningkat pengaruhnya dan pada akhirnya mendominasi pemikiran di zaman pertengahan. Doktrin tentang penguasaan oleh roh jahat meyakini bahwa perilaku abnormal merupakan suatu tanda kerasukan oleh roh jahat atau iblis. Rupanya, hal seperti ini masih dapat dijumpai di negara kita, khususnya di daerah pedalaman. Pernah saya melihat di tayangan televisi yang mengisahkan tentang seorang ibu dirantai kakinya karena dianggap gila. Oleh karena keluarga meyakini bahwa sang ibu didiami oleh roh jahat, maka mereka membawa ibu ini pada seorang tokoh agama di desanya. Dia diberi minum air putih yang sudah didoakan. Mungkin inilah gambaran situasi pada abad pertengahan berkaitan dengan penyebab perilaku abnormal.

Lalu apa yang dilakukan waktu itu? Pada abad pertengahan, para pengusir roh jahat dipekerjakan untuk meyakinkan roh jahat bahwa tubuh korban yang mereka tuju pada dasarnya tidak dapat dihuni. Mereka melakukan pengusiran roh jahat (exorcism) dengan cara, misalnya: berdoa, mengayun-ayunkan tanda salib, memukul, mencambuk, dan bahkan membuat korban menjadi kelaparan. Apabila korban masih menunjukkan perilaku abnormal, maka ada pengobatan yang lebih kuat, seperti penyiksaan dengan peralatan tertentu.

Keyakinan-keyakinan dalam hal kerasukan roh jahat tetap bertahan hingga bangkitnya ilmu pengetahuan alam pada akhir abad ke 17 dan 18. Masyarakat secara luas mulai berpaling pada nalar dan ilmu pengetahuan sebagai cara untuk menjelaskan fenomena alam dan perilaku manusia. Akhirnya, model-model perilaku abnormal juga mulai bermunculan, meliputi model-model yang mewakili perspektif biologis, psikologis, sosiokultural, dan biopsikososial. Di bawah ini adalah penjelasan-penjelasan singkatnya.

Perspektif biologis: Seorang dokter Jerman, Wilhelm Griesinger (1817-1868) menyatakan bahwa perilaku abnormal berakar pada penyakit di otak. Pandangan ini cukup memengaruhi dokter Jerman lainnya, seperti Emil Kraepelin (1856-1926) yang menulis buku teks penting dalam bidang psikiatri pada tahun 1883. Ia meyakini bahwa gangguan mental berhubungan dengan penyakit fisik. Memang tidak semua orang yang mengadopsi model medis ini meyakini bahwa setiap pola perilaku abnormal merupakan hasil dari kerusakan biologis, namun mereka mempertahankan keyakinan bahwa pola perilaku abnormal tersebut dapat dihubungkan dengan penyakit fisik karena ciri-cirinya dapat dikonseptualisasikan sebagai simtom-simtom dari gangguan yang mendasarinya.

Perspektif psikologis: Sigmund Freud, seorang dokter muda Austria (1856-1939) berpikir bahwa penyebab perilaku abnormal terletak pada interaksi antara kekuatan-kekuatan di dalam pikiran bawah sadar. Model yang dikenal sebagai model psikodinamika ini merupakan model psikologis utama yang pertama membahas mengenai perilaku abnormal.


Perspektif sosiokultural: Pandangan ini meyakini bahwa kita harus mempertimbangkan konteks-konteks sosial yang lebih luas di mana suatu perilaku muncul untuk memahami akar dari perilaku abnormal. Penyebab perilaku abnormal dapat ditemukan pada kegagalan masyarakat dan bukan pada kegagalan orangnya. Masalah-masalah psikologis bisa jadi berakar pada penyakit sosial masyarakat, seperti kemiskinan, perpecahan sosial, diskriminasi ras, gender, gaya hidup, dan sebagainya.

Perspektif biopsikososial: Pandangan ini meyakini bahwa perilaku abnormal terlalu kompleks untuk dapat dipahami hanya dari salah satu model atau perspektif. Mereka mendukung pandangan bahwa perilaku abnormal dapat dipahami dengan paling baik bila memperhitungkan interaksi antara berbagai macam penyebab yang mewakili bidang biologis, psikologis, dan sosiokultural.

Strategi coping menunjuk pada berbagai upaya , baik mental maupun perilaku, untuk menguasai, mentoleransi, mengurangi, atau minimalisasikan suatu situasi atau kejadian yang penuh tekanan. Dengan perkataan lain strategi coping merupakan suatu proses dimana individu berusaha untuk menanggani dan menguasai situasi stres yang menekan akibat dari masalah yang sedang dihadapinya dengan cara melakukan perubahan kognitif maupun perilaku guna memperoleh rasa aman dalam dirinya.


Jenis Strategi Coping


Para ahli menggolongkan dua strategi coping yang biasanya digunakan oleh individu, yaitu: problem-solving focused coping, dimana individu secara aktif mencari penyelesaian dari masalah untuk menghilangkan kondisi atau situasi yang menimbulkan stres; dan emotion-focused coping, dimana individu melibatkan usaha-usaha untuk mengatur emosinya dalam rangka menyesuaikan diri dengan dampak yang akan diitmbulkan oleh suatu kondisi atau situasi yang penuh tekanan. Hasil penelitian membuktikan bahwa individu menggunakan kedua cara tersebut untuk mengatasi berbagai masalah yang menekan dalam berbagai ruang lingkup kehidupan sehari-hari (Lazarus & Folkman, 1984). Faktor yang menentukan strategi mana yang paling banyak atau sering digunakan sangat tergantung pada kepribadian seseorang dan sejauhmana tingkat stres dari suatu kondisi atau masalah yang dialaminya. Contoh: seseorang cenderung menggunakan problem-solving focused coping dalam menghadapai masalah-masalah yang menurutnya bisa dikontrol seperti masalah yang berhubungan dengan sekolah atau pekerjaan; sebaliknya ia akan cenderung menggunakan strategi emotion-focused coping ketika dihadapkan pada masalah-masalah yang menurutnya sulit dikontrol seperti masalah-masalah yang berhubungan dengan penyakit yang tergolong berat seperti kanker atau Aids.


Hampir senada dengan penggolongan jenis coping seperti dikemukakan di atas, dalam literatur tentang coping juga dikenal dua strategi coping ,yaitu active & avoidant coping strategi (Lazarus mengkategorikan menjadi Direct Action & Palliative). Active coping merupakan strategi yang dirancang untuk mengubah cara pandang individu terhadap sumber stres, sementara avoidant coping merupakan strategi yang dilakukan individu untuk menjauhkan diri dari sumber stres dengan cara melakukan suatu aktivitas atau menarik diri dari suatu kegiatan atau situasi yang berpotensi menimbulkan stres. Apa yang dilakukan individu pada avoidant coping strategi sebenarnya merupakan suatu bentuk mekanisme pertahanan diri (lihat artikel: Mengenal Mekanisme Pertahanan Diri) yang sebenarnya dapat menimbulkan dampak negatif bagi individu karena cepat atau lambat permasalahan yang ada haruslah diselesaikan oleh yang bersangkutan. Permasalahan akan semakin menjadi lebih rumit jika mekanisme pertahanan diri tersebut justru menuntut kebutuhan energi dan menambah kepekaan terhadap ancaman.

Faktor yang Mempengaruhi Strategi Coping

Cara individu menangani situasi yang mengandung tekanan ditentukan oleh sumber daya individu yang meliputi kesehatan fisik/energi, keterampilan memecahkan masalah, keterampilan sosial dan dukungan sosial dan materi.


a.
Kesehatan Fisik

nilai etika dan estetika dalam berbudaya,termasuk ke dalam nilai-nilai pendidikan.

Proses Pendidikan dalam Ranah Pendidikan Nilai

GAMBARAN tentang orang Indonesia yang ramah, berbudaya, dan berbudi pekerti luhur telah memudar. Kesan yang muncul adalah kekerasan, dan tindakan tidak manusiawi terjadi hampir di seluruh pelosok negeri dan berlangsung dalam waktu yang lama. Tudingan ini lebih tertuju pada kegagalan pendidikan nilai yang dibina pada tiap lembaga pendidikan. Bahkan dengan tegas Timo Teweng (Bali Post, 13/9/2005) mengklaim, merebaknya gejala seperti ini akibat kegagalan dalam menumbuhkan pendidikan nilai.

Pendidikan sebagai proses alih nilai mempunyai tiga sasaran. Pertama, pendidikan bertujuan untuk membentuk manusia yang mempunyai keseimbangan antara kemampuan kognitif dan psikomotrik di satu pihak serta kemampuan afektif di pihak lain. Dalam hal ini dapat diartikan, pendidikan menghasilkan manusia yang berkepribadian, tetap menjunjung tinggi nilai-nilai budaya yang luhur, serta mempunyai wawasan dan sikap kebangsaan dan menjaga serta memupuk jati dirinya. Dalam hal ini proses alih nilai dalam rangka proses pembudayaan.

Kedua, dalam sistem nilai yang dialihkan juga termasuk nilai-nilai keimanan dan ketaqwaan, yang terpancar pada ketundukan manusia Indonesia untuk melaksanakan ibadah menurut keyakinan dan kepercayaan masing-masing, berakhlaq mulia, serta senantiasa menjaga harmoni hubungan dengan Tuhan, dengan sesama manusia dan dengan alam sekitarnya. Dalam kaitan ini konsep Tri Hita Karana dikumandangkan. Implementasi alih nilai dalam proses merupakan proses pembinaan imtaq.

Ketiga, dalam alih nilai juga dapat ditransformasikan tata nilai yang mendukung proses industrialisasi dan penerapan teknologi, seperti penghargaan atas waktu, etos kerja tinggi, disiplin, kemandirian, kewirausahaan dan sebagainya. Dalam hal ini, proses alih nilai merupakan proses pembinaan iptek.

Menyikapi secara kritis begitu pentingnya menumbuhkembangkan pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti perlu dikembangkan atau diperkokoh tidak lain karena merupakan konsukuensi logis dari keberadaan (eksistensi) serta hakikat manusia sebagai makhluk sosial dan makhluk berbudaya. Sebagai makhluk sosial dan makhluk yang berbudaya, manusia berada pada jaringan interaksi interdependensi dengan sesama manusia yang diatur dalam pola-pola jaringan norma yang dijabarkan dari nilai yang hidup serta beroperasi di satu kelompok masyarakat. Sistem pendidikan harus berpedoman pada seperangkat aturan dan pengaturan, yang memang dirancang demi pendekatan sistemik dan bukan untuk disiasati melalui pendekatan perseorangan.

Pendidikan budi pekerti tidak bisa lepas dari sistem nilai yang dimiliki oleh masyarakat serta proses internalisasi nilai untuk melestarikan sistem nilai tersebut. Proses internalisasi nilai itu sendiri tidak lain dari salah satu aspek dari substansi proses pendidikan dalam arti luas. Dengan demikian pendidikan budi pekerti terkait dengan proses pendidikan baik yang berlangsung di keluarga (bagian dari isi pola asuh), di masyarakat (bagian dari interaksi sosial), maupun di sekolah (bagian dari proses pendidikan formal). Atas dasar ini pendidikan budi pekerti menumbuhkan sikap serta perilaku sehari-hari yang mencerminkan sistem nilai yang hidup di suatu masyarakat. Dengan demikian pengembangan pendidikan budi pekerti juga merupakan pengembangan budaya dan nilai-nilai luhur budaya bangsa.

Uraian singkat di atas, memberikan gambaran dalam pendidikan keluarga dan masyarakat, proses interaksi peserta didik yang menyangkut nilai tambah keyakinan, sikap, budi pekerti dan perilaku berlangsung secara lebih intensif, terutama dalam proses pembudayaan dan pembinaan imtaq. Hal ini dimungkinkan karena dalam kedua lingkungan pendidikan tersebut, proses alih nilai dapat berlangsung lebih intensif dengan adanya proses pembiasaan dan peneladanan (percontohan). Pembinaan sikap dan perilaku dialami peserta didik dalam kehidupan sehari-hari dalam lingkungan keluarga maupun masyarakat. Sementara percontohan dapat dilihat langsung dari sikap dan perilaku orang tua maupun tokoh masyarakat (formal maupun non formal).

Pembinaan imtaq dan pembudayaan pada dasarnya meliputi pembinaan terhadap keyakinan, sikap, perilaku dan budi pekerti dan nilai-nilai luhur budaya bangsa. Kesemua aspek tersebut dapat berkembang apabila ada pemahaman dan wawasan keagamaan dan budaya yang diperoleh dari proses alih pengetahuan, serta internalisasi nilai-nilai keagamaan dan budaya yang diperoleh dari proses alih nilai. Dalam lingkungan keluarga dan masyarakat proses alih nilai berlangsung secara lebih berkesinambungan sehingga interaksi berlangsung secara lebih efektif dibandingkan yang terjadi di dalam kelas. Di samping faktor pembiasaan dan peneladanan di atas, pembinaan imtaq dan pembudayaan dalam keluarga juga akan lebih berhasil karena adanya penghayatan terhadap nilai-nilai agama yang melahirkan keyakinan, sikap, perilaku dan budi pakerti dan akhlak seperti di atas.

Dalam pembinaan budi pekerti di sekolah, sering ditemukan dua model pendekatan dalam penanaman nilai-nilai imtaq dan pembudayaan. Pertama, pendekatan struktur-kuantitatif, pendekatan yang menitikberatkan pada satuan subjek dan jam belajar. Kedua, pendekatan fungsional kualitatif, yaitu pendekatan menitikberatkan pada substansi kegiatan belajar mengajar sebagai wahana proses alih nilai (Praktiknya, 1997: 6). Pendekatan pertama biasanya mengusulkan adanya mata pelajaran khusus dan jam pelajaran memadai, sementara pendekatan yang kedua lebih pada intensitas pendidikan nilai (budi pekerti, agama, lingkungan, wawasan kebangsaan, dan sebagainya) pada setiap mata pelajaran yang ada secara integrative dan proporsional.

Terlepas dari kontroversi kedua pendekatan tersebut, untuk konteks pendidikan dasar dan menengah yang jumlah subyek dan jam belajarnya yang sudah padat, maka pendekatan kedua lebih cocok untuk kita upayakan dalam rangka validasi pendidikan budi pekerti dalam wahana sekolah.

Selain itu, pelaksanaan pendidikan nilai di sekolah, sekolah perlu situasi pendidikan dan kegiatan-kegiatan yang terprogram yang membawa pendidikan nilai yang mengandung nilai-nilai luhur budaya bangsa. Menciptakan situasi sekolah yang memungkinkan bagi siswa untuk menyaksikan dengan mata kepala sendiri, mengetahui dengan pengertian yang benar, serta mengalami sendiri bagaimana nilai-nilai itu dihayati dan direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Mampukah pendidikan budi pekerti menjembatani penanaman pendidikan nilai? Walaupun pendidikan budi pekerti sudah diajarkan di sekolah dan di lembaga pendidikan lainnya, pelajaran pendidikan budi pekerti ditempatkan sebagai wahana pembelajaran kognitif akan nilai-nilai. Pelajaran budi pekerti tidak dapat semata mata diandalkan untuk pendidikan nilai. Paul Suparno, SJ, pakar pendidikan dari Universitas Sanata Dharma Yogyakarta mengusulkan, sebaiknya pelajaran budi pekerti dikelola oleh guru yang mempunyai kompetensi, sehingga dalam kadar tertentu hasilnya dapat menyentuh ke aspek psikososial dan penalaran moral. Timo Teweng dalam pandangannya di harian ini, merasa pesimis akan penanaman pendidikan nilai pendidikan nilai akan terasa hambar, jika beberapa perilaku kita masih sangat bertentangan dengan nilai-nilai moral.

pepede

Perkembangan manusia juga bersifat kompleks sebab berhubungan dengan proses biologi, kognitif dan sosio-emosi manusia. Setiap manusia melalui proses kelahiran, tumbuh besar dan kematian. Namun dalam proses tersebut, setiap individu akan melalui pengalaman yang berbeda sehingga terbentuk karakter manusia yang unik.

Proses Biologi, Kognitif dan Psiko-Emosi
Proses biologi merupakan proses perubahan fisik manusia. Gen dari keluarga, pertumbuhan otak, pertambahan tinggi dan berat badan, perubahan kemahiran motorik, perubahan hormon dan penurunan kardiovaskular mencerminkan peranan proses biologi dalam pertumbuhan manusia.

Proses kognitif merupakan perubahan pemikiran, kepintaran dan bahasa manusia. Proses sosio-emosi berkaitan dengan perubahan dalam hubungan manusia dengan orang lain, perubahan emosi serta personalitinya.

Semua proses ini saling berhubungan, berintegrasi dan mempengaruhi antara satu sama lain. Sehubungan itu, pertumbuhan dan perkembangan manusia adalah integrasi antara proses biologi, kognitif dan sosio-emosi manusia.

Fase Perkembangan

Fase perkembangan merujuk pada jangka waktu kehidupan seseorang yang ditandai dengan beberapa kriteria. Fase perkembangan manusia dibagi dalam beberapa tahapan yaitu:

1. Prenatal: Prenatal adalah fase dari dalam kandungan hingga kelahiran. Melibatkan pertumbuhan pesat dari satu unit sel menjadi satu organisme kompleks.

2. Bayi: 18 bulan hingga 24 bulan. Fase kebergantungan yang tinggi kepada orang dewasa dan Fase awal aktivitas psikologi.

3. Kanak-kanak awal: 25 bulan hingga 6 tahun. Juga dikenal sebagai fase pra-sekolah. Belajar menjadi self-sufficient, bersedia untuk belajar dan suka bermain dengan teman sebaya.

4. Kanak-kanak pertengahan dan akhir: 6 hingga 11 tahun. Awal sekolah. Dikenal sebagai Fase the elementary school year. Awal belajar membaca, berhitung dan menulis.

5. Remaja: Fase transisi dari kanak-kanak menjadi remaja. Usia 10-12 tahun sampai dengan 18-22 tahun. Mengalami pertumbuhan biologi yang pesat. Awal mula kemandirian,membentuk identitas diri, berfikir logika, abstrak dan idealistik.

6. Dewasa awal: Awal 20-an hingga 30-an. Fase pengukuhan pribadi, ekonomi dan awal hidup berkeluarga.

7. Dewasa pertengahan: 40 an-60-an. Menjadi matang dan memperoleh kepuasan kerja.

8. Dewasa akhir: 60-an atau 70-an hingga meninggal dunia. Dibagi menjadi dua fase yaitu awal (65-74 tahun) dan tua akhir (75 tahun dan ke atas).

Isu Perkembangan

Nature and nurture: Perkembangan dipengaruhi oleh faktor dasar (sifat biologi manusia) atau pola asuh.

Continuity and discontinuity: Perkembangan melibatkan perubahan kumulatif (continuity) atau distinct states (discontinuity)

Kestabilan dan perubahan: Perkembangan manusia melibatkan kestabilan atau perubahan.

Friday, June 06, 2008

PERSPEKTIF HISTORIS TENTANG PERILAKU ABNORMAL

Sepanjang sejarah budaya barat, konsep perilaku abnormal telah dibentuk, dalam beberapa hal, oleh pandangan dunia waktu itu. Contohnya, masyarakat purba menghubungkan perilaku abnormal dengan kekuatan supranatural atau yang bersifat ketuhanan. Para arkeolog telah menemukan kerangka manusia dari Zaman Batu dengan lubang sebesar telur pada tengkoraknya. Satu interpretasi yang muncul adalah bahwa nenek moyang kita percaya bahwa perilaku abnormal merefleksikan serbuan/invasi dari roh-roh jahat. Mungkin mereka menggunakan cara kasar yang disebut trephination--menciptakan sebuah jalur bagi jalan keluarnya roh tertentu.

Pada abad pertengahan kepercayaan tersebut makin meningkat pengaruhnya dan pada akhirnya mendominasi pemikiran di zaman pertengahan. Doktrin tentang penguasaan oleh roh jahat meyakini bahwa perilaku abnormal merupakan suatu tanda kerasukan oleh roh jahat atau iblis. Rupanya, hal seperti ini masih dapat dijumpai di negara kita, khususnya di daerah pedalaman. Pernah saya melihat di tayangan televisi yang mengisahkan tentang seorang ibu dirantai kakinya karena dianggap gila. Oleh karena keluarga meyakini bahwa sang ibu didiami oleh roh jahat, maka mereka membawa ibu ini pada seorang tokoh agama di desanya. Dia diberi minum air putih yang sudah didoakan. Mungkin inilah gambaran situasi pada abad pertengahan berkaitan dengan penyebab perilaku abnormal.

Lalu apa yang dilakukan waktu itu? Pada abad pertengahan, para pengusir roh jahat dipekerjakan untuk meyakinkan roh jahat bahwa tubuh korban yang mereka tuju pada dasarnya tidak dapat dihuni. Mereka melakukan pengusiran roh jahat (exorcism) dengan cara, misalnya: berdoa, mengayun-ayunkan tanda salib, memukul, mencambuk, dan bahkan membuat korban menjadi kelaparan. Apabila korban masih menunjukkan perilaku abnormal, maka ada pengobatan yang lebih kuat, seperti penyiksaan dengan peralatan tertentu.

Keyakinan-keyakinan dalam hal kerasukan roh jahat tetap bertahan hingga bangkitnya ilmu pengetahuan alam pada akhir abad ke 17 dan 18. Masyarakat secara luas mulai berpaling pada nalar dan ilmu pengetahuan sebagai cara untuk menjelaskan fenomena alam dan perilaku manusia. Akhirnya, model-model perilaku abnormal juga mulai bermunculan, meliputi model-model yang mewakili perspektif biologis, psikologis, sosiokultural, dan biopsikososial. Di bawah ini adalah penjelasan-penjelasan singkatnya.

Perspektif biologis: Seorang dokter Jerman, Wilhelm Griesinger (1817-1868) menyatakan bahwa perilaku abnormal berakar pada penyakit di otak. Pandangan ini cukup memengaruhi dokter Jerman lainnya, seperti Emil Kraepelin (1856-1926) yang menulis buku teks penting dalam bidang psikiatri pada tahun 1883. Ia meyakini bahwa gangguan mental berhubungan dengan penyakit fisik. Memang tidak semua orang yang mengadopsi model medis ini meyakini bahwa setiap pola perilaku abnormal merupakan hasil dari kerusakan biologis, namun mereka mempertahankan keyakinan bahwa pola perilaku abnormal tersebut dapat dihubungkan dengan penyakit fisik karena ciri-cirinya dapat dikonseptualisasikan sebagai simtom-simtom dari gangguan yang mendasarinya.

Perspektif psikologis: Sigmund Freud, seorang dokter muda Austria (1856-1939) berpikir bahwa penyebab perilaku abnormal terletak pada interaksi antara kekuatan-kekuatan di dalam pikiran bawah sadar. Model yang dikenal sebagai model psikodinamika ini merupakan model psikologis utama yang pertama membahas mengenai perilaku abnormal.


Perspektif sosiokultural: Pandangan ini meyakini bahwa kita harus mempertimbangkan konteks-konteks sosial yang lebih luas di mana suatu perilaku muncul untuk memahami akar dari perilaku abnormal. Penyebab perilaku abnormal dapat ditemukan pada kegagalan masyarakat dan bukan pada kegagalan orangnya. Masalah-masalah psikologis bisa jadi berakar pada penyakit sosial masyarakat, seperti kemiskinan, perpecahan sosial, diskriminasi ras, gender, gaya hidup, dan sebagainya.

Perspektif biopsikososial: Pandangan ini meyakini bahwa perilaku abnormal terlalu kompleks untuk dapat dipahami hanya dari salah satu model atau perspektif. Mereka mendukung pandangan bahwa perilaku abnormal dapat dipahami dengan paling baik bila memperhitungkan interaksi antara berbagai macam penyebab yang mewakili bidang biologis, psikologis, dan sosiokultural.

Strategi coping menunjuk pada berbagai upaya , baik mental maupun perilaku, untuk menguasai, mentoleransi, mengurangi, atau minimalisasikan suatu situasi atau kejadian yang penuh tekanan. Dengan perkataan lain strategi coping merupakan suatu proses dimana individu berusaha untuk menanggani dan menguasai situasi stres yang menekan akibat dari masalah yang sedang dihadapinya dengan cara melakukan perubahan kognitif maupun perilaku guna memperoleh rasa aman dalam dirinya.


Jenis Strategi Coping


Para ahli menggolongkan dua strategi coping yang biasanya digunakan oleh individu, yaitu: problem-solving focused coping, dimana individu secara aktif mencari penyelesaian dari masalah untuk menghilangkan kondisi atau situasi yang menimbulkan stres; dan emotion-focused coping, dimana individu melibatkan usaha-usaha untuk mengatur emosinya dalam rangka menyesuaikan diri dengan dampak yang akan diitmbulkan oleh suatu kondisi atau situasi yang penuh tekanan. Hasil penelitian membuktikan bahwa individu menggunakan kedua cara tersebut untuk mengatasi berbagai masalah yang menekan dalam berbagai ruang lingkup kehidupan sehari-hari (Lazarus & Folkman, 1984). Faktor yang menentukan strategi mana yang paling banyak atau sering digunakan sangat tergantung pada kepribadian seseorang dan sejauhmana tingkat stres dari suatu kondisi atau masalah yang dialaminya. Contoh: seseorang cenderung menggunakan problem-solving focused coping dalam menghadapai masalah-masalah yang menurutnya bisa dikontrol seperti masalah yang berhubungan dengan sekolah atau pekerjaan; sebaliknya ia akan cenderung menggunakan strategi emotion-focused coping ketika dihadapkan pada masalah-masalah yang menurutnya sulit dikontrol seperti masalah-masalah yang berhubungan dengan penyakit yang tergolong berat seperti kanker atau Aids.


Hampir senada dengan penggolongan jenis coping seperti dikemukakan di atas, dalam literatur tentang coping juga dikenal dua strategi coping ,yaitu active & avoidant coping strategi (Lazarus mengkategorikan menjadi Direct Action & Palliative). Active coping merupakan strategi yang dirancang untuk mengubah cara pandang individu terhadap sumber stres, sementara avoidant coping merupakan strategi yang dilakukan individu untuk menjauhkan diri dari sumber stres dengan cara melakukan suatu aktivitas atau menarik diri dari suatu kegiatan atau situasi yang berpotensi menimbulkan stres. Apa yang dilakukan individu pada avoidant coping strategi sebenarnya merupakan suatu bentuk mekanisme pertahanan diri (lihat artikel: Mengenal Mekanisme Pertahanan Diri) yang sebenarnya dapat menimbulkan dampak negatif bagi individu karena cepat atau lambat permasalahan yang ada haruslah diselesaikan oleh yang bersangkutan. Permasalahan akan semakin menjadi lebih rumit jika mekanisme pertahanan diri tersebut justru menuntut kebutuhan energi dan menambah kepekaan terhadap ancaman.

Faktor yang Mempengaruhi Strategi Coping

Cara individu menangani situasi yang mengandung tekanan ditentukan oleh sumber daya individu yang meliputi kesehatan fisik/energi, keterampilan memecahkan masalah, keterampilan sosial dan dukungan sosial dan materi.


a.
Kesehatan Fisik

nilai etika dan estetika dalam berbudaya,termasuk ke dalam nilai-nilai pendidikan.

Print

E-mail

Proses Pendidikan dalam Ranah Pendidikan Nilai

GAMBARAN tentang orang Indonesia yang ramah, berbudaya, dan berbudi pekerti luhur telah memudar. Kesan yang muncul adalah kekerasan, dan tindakan tidak manusiawi terjadi hampir di seluruh pelosok negeri dan berlangsung dalam waktu yang lama. Tudingan ini lebih tertuju pada kegagalan pendidikan nilai yang dibina pada tiap lembaga pendidikan. Bahkan dengan tegas Timo Teweng (Bali Post, 13/9/2005) mengklaim, merebaknya gejala seperti ini akibat kegagalan dalam menumbuhkan pendidikan nilai.

Pendidikan sebagai proses alih nilai mempunyai tiga sasaran. Pertama, pendidikan bertujuan untuk membentuk manusia yang mempunyai keseimbangan antara kemampuan kognitif dan psikomotrik di satu pihak serta kemampuan afektif di pihak lain. Dalam hal ini dapat diartikan, pendidikan menghasilkan manusia yang berkepribadian, tetap menjunjung tinggi nilai-nilai budaya yang luhur, serta mempunyai wawasan dan sikap kebangsaan dan menjaga serta memupuk jati dirinya. Dalam hal ini proses alih nilai dalam rangka proses pembudayaan.

Kedua, dalam sistem nilai yang dialihkan juga termasuk nilai-nilai keimanan dan ketaqwaan, yang terpancar pada ketundukan manusia Indonesia untuk melaksanakan ibadah menurut keyakinan dan kepercayaan masing-masing, berakhlaq mulia, serta senantiasa menjaga harmoni hubungan dengan Tuhan, dengan sesama manusia dan dengan alam sekitarnya. Dalam kaitan ini konsep Tri Hita Karana dikumandangkan. Implementasi alih nilai dalam proses merupakan proses pembinaan imtaq.

Ketiga, dalam alih nilai juga dapat ditransformasikan tata nilai yang mendukung proses industrialisasi dan penerapan teknologi, seperti penghargaan atas waktu, etos kerja tinggi, disiplin, kemandirian, kewirausahaan dan sebagainya. Dalam hal ini, proses alih nilai merupakan proses pembinaan iptek.

Menyikapi secara kritis begitu pentingnya menumbuhkembangkan pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti perlu dikembangkan atau diperkokoh tidak lain karena merupakan konsukuensi logis dari keberadaan (eksistensi) serta hakikat manusia sebagai makhluk sosial dan makhluk berbudaya. Sebagai makhluk sosial dan makhluk yang berbudaya, manusia berada pada jaringan interaksi interdependensi dengan sesama manusia yang diatur dalam pola-pola jaringan norma yang dijabarkan dari nilai yang hidup serta beroperasi di satu kelompok masyarakat. Sistem pendidikan harus berpedoman pada seperangkat aturan dan pengaturan, yang memang dirancang demi pendekatan sistemik dan bukan untuk disiasati melalui pendekatan perseorangan.

Pendidikan budi pekerti tidak bisa lepas dari sistem nilai yang dimiliki oleh masyarakat serta proses internalisasi nilai untuk melestarikan sistem nilai tersebut. Proses internalisasi nilai itu sendiri tidak lain dari salah satu aspek dari substansi proses pendidikan dalam arti luas. Dengan demikian pendidikan budi pekerti terkait dengan proses pendidikan baik yang berlangsung di keluarga (bagian dari isi pola asuh), di masyarakat (bagian dari interaksi sosial), maupun di sekolah (bagian dari proses pendidikan formal). Atas dasar ini pendidikan budi pekerti menumbuhkan sikap serta perilaku sehari-hari yang mencerminkan sistem nilai yang hidup di suatu masyarakat. Dengan demikian pengembangan pendidikan budi pekerti juga merupakan pengembangan budaya dan nilai-nilai luhur budaya bangsa.

Uraian singkat di atas, memberikan gambaran dalam pendidikan keluarga dan masyarakat, proses interaksi peserta didik yang menyangkut nilai tambah keyakinan, sikap, budi pekerti dan perilaku berlangsung secara lebih intensif, terutama dalam proses pembudayaan dan pembinaan imtaq. Hal ini dimungkinkan karena dalam kedua lingkungan pendidikan tersebut, proses alih nilai dapat berlangsung lebih intensif dengan adanya proses pembiasaan dan peneladanan (percontohan). Pembinaan sikap dan perilaku dialami peserta didik dalam kehidupan sehari-hari dalam lingkungan keluarga maupun masyarakat. Sementara percontohan dapat dilihat langsung dari sikap dan perilaku orang tua maupun tokoh masyarakat (formal maupun non formal).

Pembinaan imtaq dan pembudayaan pada dasarnya meliputi pembinaan terhadap keyakinan, sikap, perilaku dan budi pekerti dan nilai-nilai luhur budaya bangsa. Kesemua aspek tersebut dapat berkembang apabila ada pemahaman dan wawasan keagamaan dan budaya yang diperoleh dari proses alih pengetahuan, serta internalisasi nilai-nilai keagamaan dan budaya yang diperoleh dari proses alih nilai. Dalam lingkungan keluarga dan masyarakat proses alih nilai berlangsung secara lebih berkesinambungan sehingga interaksi berlangsung secara lebih efektif dibandingkan yang terjadi di dalam kelas. Di samping faktor pembiasaan dan peneladanan di atas, pembinaan imtaq dan pembudayaan dalam keluarga juga akan lebih berhasil karena adanya penghayatan terhadap nilai-nilai agama yang melahirkan keyakinan, sikap, perilaku dan budi pakerti dan akhlak seperti di atas.

Dalam pembinaan budi pekerti di sekolah, sering ditemukan dua model pendekatan dalam penanaman nilai-nilai imtaq dan pembudayaan. Pertama, pendekatan struktur-kuantitatif, pendekatan yang menitikberatkan pada satuan subjek dan jam belajar. Kedua, pendekatan fungsional kualitatif, yaitu pendekatan menitikberatkan pada substansi kegiatan belajar mengajar sebagai wahana proses alih nilai (Praktiknya, 1997: 6). Pendekatan pertama biasanya mengusulkan adanya mata pelajaran khusus dan jam pelajaran memadai, sementara pendekatan yang kedua lebih pada intensitas pendidikan nilai (budi pekerti, agama, lingkungan, wawasan kebangsaan, dan sebagainya) pada setiap mata pelajaran yang ada secara integrative dan proporsional.

Terlepas dari kontroversi kedua pendekatan tersebut, untuk konteks pendidikan dasar dan menengah yang jumlah subyek dan jam belajarnya yang sudah padat, maka pendekatan kedua lebih cocok untuk kita upayakan dalam rangka validasi pendidikan budi pekerti dalam wahana sekolah.

Selain itu, pelaksanaan pendidikan nilai di sekolah, sekolah perlu situasi pendidikan dan kegiatan-kegiatan yang terprogram yang membawa pendidikan nilai yang mengandung nilai-nilai luhur budaya bangsa. Menciptakan situasi sekolah yang memungkinkan bagi siswa untuk menyaksikan dengan mata kepala sendiri, mengetahui dengan pengertian yang benar, serta mengalami sendiri bagaimana nilai-nilai itu dihayati dan direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Mampukah pendidikan budi pekerti menjembatani penanaman pendidikan nilai? Walaupun pendidikan budi pekerti sudah diajarkan di sekolah dan di lembaga pendidikan lainnya, pelajaran pendidikan budi pekerti ditempatkan sebagai wahana pembelajaran kognitif akan nilai-nilai. Pelajaran budi pekerti tidak dapat semata mata diandalkan untuk pendidikan nilai. Paul Suparno, SJ, pakar pendidikan dari Universitas Sanata Dharma Yogyakarta mengusulkan, sebaiknya pelajaran budi pekerti dikelola oleh guru yang mempunyai kompetensi, sehingga dalam kadar tertentu hasilnya dapat menyentuh ke aspek psikososial dan penalaran moral. Timo Teweng dalam pandangannya di harian ini, merasa pesimis akan penanaman pendidikan nilai pendidikan nilai akan terasa hambar, jika beberapa perilaku kita masih sangat bertentangan dengan nilai-nilai moral.


Proses dinamik di mana satu sel zigot manusia menjadi 100-trilion-sel dewasa mungkin merupakan fenomena paling menakjubkan di alam ini.

Para penyelidik kini tahu banyak fungsi rutin yang dijalankan oleh badan orang dewasa telah dibentuk semasa kehamilan - selalunya lama sebelum kelahiran.

Tempoh perkembangan sebelum kelahiran semakin difahami sebagai masa persediaan yang mana manusia yang sedang terbentuk memperoleh pelbagai struktur, dan berlatih pelbagai kemahiran, yang perlu untuk terus hidup selepas kelahiran.

Chapter 2 Terminology



Kehamilan bagi manusia biasanya memakan masa 38 minggu dikira dari masa persenyawaan, atau konsepsi, sehingga kelahiran.

Semasa 8 minggu pertama lepas persenyawaan, manusia yang terbentuk dipanggil embrio, yang bermaksud "sedang membesar di dalam." Waktu ini, dinamakan tempoh embrio, iaitu waktu pembentukan kebanyakan sistem utama badan.

Selepas 8 minggu hingga akhir kehamilan, "manusia yang terbentuk dinamakan fetus," yang bermaksud "anak yang belum lahir." Semasa tempoh yang di panggil tempoh fetus ini, badan membesar dan sistemnya mula berfungsi.

Semua usia embrio & fetus dalam program ini merujuk kepada masa sejak persenyawaan.